Pola pendidikan pesantren tidak terbatas waktu, karena ia memahami sekaligus menerapkan prinsip thuluz zaman (berkelanjutan). Dalam teori pendidikan modern, konsep ini dikenal dengan pendidikan sepanjang hayat (long life education). Konsep ini mempunyai makna bahwa pendidikan tidak sebatas yang ada di kelas, memahami materi pelajaran, dan mampu melahap soal-soal ujian.
Namun, pendidikan sepanjang hayat membuat anak didik tidak pernah berhenti belajar di mana pun ia berada dan kapan pun dia melihat peristiwa sebagai dasar pembangun rasionalitas-ilmiahnya. Anak didik mungkin dengan gampang memahami bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Tetapi, apakah mereka mengerti makna dari perhitungan ilmiah tersebut? Bagaimana guru atau pendidik agar fakta ilmiah tersebut bermakna (meaningful) bagi peserta didik?
Di titik itulah rasionalitas ilmiah harus dibangun dengan moral kokoh melalui Pendidikan bermakna. Mereka harus dipahamkan bahwa dua merupakan hasil dari penjumlahan satu ditambah satu, tidak kurang atau pun lebih. Artinya, generasi bangsa perlu dididik kejujuran sehingga tidak mudah terpengaruh perilaku korup yang sering menambah atau mengurangi jumlah. Tentu ini karakter sederhana yang perlu terus menerus dievaluasi kepada anak didik, meskipun pada praktiknya banyak pendidik yang menemukan kesusahan.
Disinilah pesantren memegang peranan yang sangat pundamental di dalam melahirkan generasi-generasi bangsa yang hebat, memilki budi pekerti yang luhur serta dipersiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin potensial di masa yang akan datang.
Animo masyarakat, keinginan masyarakat agar anak-anaknya bisa mengakses dunia Pesantren sangatlah tinggi, Namun demikian, karena adanya pertimbangan-pertimbangan salah satunya adalah orang tua yang belum ingin jauh dengan anak akhirnya membuat mereka belum ingin memasukkan anaknya untuk mondok di Pondok Pesantren.
Maka melihat animo masyarakat ini, Pesantren Tahfih Daarul Qur’an mulai tahun ajaran 2025-2026 membuka program Fullday yang ditujukan bagi walisantri yang ingin putera atau puterinya merasakan atmosfer dunia pesantren, namun dengan aktifitas pulang dan pergi (tidak menginap di Pesantren).